Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR. Bukhari)
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, kehidupan di alam dunia adalah sementara, sedangkan kehidupan di akhirat kekal dan abadi. Oleh sebab itu Allah memerintahkan kita untuk membekali diri dengan ketakwaan. Ketakwaan itulah sebaik-baik bekal bagi kita. Ketakwaaan inilah yang membuat manusia menjadi mulia di hadapan Allah, bukan karena pangkat, jabatan, kekayaan, atau keelokan rupa.
Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dengan hanif, mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah : 5)
Bertakwa kepada Allah maknanya adalah tunduk kepada perintah dan larangan-Nya dengan dilandasi rasa takut dan harap; taku akan azab-Nya dan mengharap akan pahala dan ganjaran dari sisi-Nya. Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya takut akan hukuman Allah.”
Surga dengan segala kenikmatan dan kesenangan yang ada di dalamnya Allah siapkan bagi orang-orang yang bertakwa. Orang-orang yang mengisi hidup dan kehidupannya di alam dunia dengan iman, amal salih dan dakwah di jalan-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (Al-‘Ashr : 1-3)
Surga Allah persiapkan bagi hamba-hamba-Nya yang bertauhid, adapun bagi orang-orang musyrik maka surga diharamkan untuk mereka. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tiada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (Al-Ma’idah : 72)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; jika kamu berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar : 65)
Maka menjadi sebuah keberuntungan yang sangat besar dan tak ternilai harganya, ketika Allah memberikan taufik kepada seorang insan untuk menjadi muslim yang bertauhid. Hidup di atas tauhid dan meninggal juga di atas tauhid. Karena kebahagiaan tidak bisa digapai kecuali dengan tauhid dan keimanan. Namun ingat, tauhid dan keimanan bukan semata-mata ucapan syahadat dan pengakuan dengan lisan. Iman adalah keyakinan kuat di dalam hati yang diikrarkan dengan lisan dan diwujudkan dengan amal-amal anggota badan.
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu semata-mata dengan berangan-angan atau berhias penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” Iman itu membutuhkan bukti. Sebagaimana halnya tauhid menuntut hamba untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi syirik.
Tidak cukup pengakuan tauhid jika tidak dibarengi dengan ketundukan beribadah kepada Allah. Sebagaimana tidak cukup ketundukan beribadah kepada Allah jika dibarengi dengan penghambaan kepada selain-Nya. Oleh sebab itu Allah menyandingkan perintah ibadah dengan larangan dari syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (An-Nisaa’ : 36).
Oleh sebab itu pula kebenaran iman tidak bisa dinilai dengan ucapan lisan semata. Betapa banyak orang yang mengucapkan keimanan dengan lisannya, akan tetapi isi hati dan tingkah lakunya jauh dari nilai-nilai keimanan. Mereka mengucapkan dengan lisannya apa-apa yang tidak bersemayam di dalam hatinya. Bahkan orang munafik yang mereka telah mengucapkan syahadat sekalipun tidak bisa masuk ke dalam surga akibat dosa-dosa hati yang menjalar di dalam jiwanya.
Keislaman kita membutuhkan bukti. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang muslim yang baik adalah yang membuat selamat orang-orang Islam lainnya dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari). Islam adalah ketundukan kepada Allah dengan bertauhid, patuh kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya. Islam bukan semata-mata mengucapkan syahadat, melakukan sholat, atau membayar zakat. Akan tetapi lebih daripada itu Islam menuntut kita untuk mengikhlaskan amal untuk Allah, menunaikan hak-hak manusia dan berlaku adil bahkan kepada musuh sekalipun.
Islam yang sebenarnya adalah Islam yang dibawa oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, Islam yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu’anhum. Inilah Islam yang akan menyelamatkan pemeluknya dari pedihnya azab neraka. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kaum Muhajirin dan Anshar, beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Dan Allah persiapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya, itulah keberuntungan yang sangat besar.” (At-Taubah : 100)
Keislaman yang bernafaskan dengan keikhlasan. Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Aku adalah dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa yang melakukan suatu amal dalam keadaan dia mempersekutukan diri-Ku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia bersama syiriknya itu.” (HR. Muslim). Keikhlasan inilah yang menyebabkan amal-amal yang kecil menjadi besar dan begitu bernilai di hadapan Allah. Ibnul Mubarok rahimahullah berkata, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil juga karena niat.” Aduhai, betapa butuhnya kita kepada keikhlasan…
Orang-orang munafik yang membangun masjid Dhirar tidak mendapatkan pahala dari Allah, karena mereka telah kehilangan keikhlasan. Dimana mereka membangun masjid demi mencerai-beraikan kekuatan umat Islam kala itu. Allah pun melarang nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk sholat di dalamnya; karena masjid itu tidak ditegakkan di atas takwa dan keikhlasan. Begitu besar dampak keikhlasan dalam amal dan perbuatan hamba di sisi Allah ta’ala.
Memang, sedekah adalah bukti keimanan, apalagi membangun masjid; tempat yang paling dicintai Allah di muka bumi ini. Akan tetapi apabila hal itu tidak disertai dengan keikhlasan maka semuanya hanya akan menjadi sia-sia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka kerjakan lalu Kami jadikan ia bagai debu yang beterbangan.” (Al-Furqan : 23)
Oleh sebab itu beramal salih tidak boleh dicampuri dengan syirik dan niat-niat yang kotor. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (Al-Kahfi : 110)
Orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan petunjuk adalah mereka yang beriman dan bersih dari noda-noda kemusyrikan. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman/syirik, mereka itulah yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.” (Al-An’am : 82)
Apabila kita telah menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara, dan Allah tidak akan menerima amal kecuali yang ikhlas karena-Nya, maka sudah saatnya bagi kita untuk mengingat Allah, bersyukur akan nikmat-Nya, dan menjauhi kemurkaan dan azab-Nya. Dan apabila Allah berikan rizki kepada kita berupa harta, alangkah indahnya apabila harta itu kita belanjakan di atas jalan-Nya. Sebagaimana ciri orang-orang yang bertakwa, “Dan dari sebagian rizki yang Kami berikan, mereka itu memberikan infaknya.” (Al-Baqarah)
Tidakkah kita ingat tentang tujuh glongan yang diberi naungan oleh Allah pada hari kiamat, salah satunya adalah, “Seorang lelaki yang bersedekah dengan suatu bentuk sedekah sembari menyembunyikannya, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Betapa mulianya sedekah apabila dilakukan dengan ikhlas karena Allah, dan bukan untuk mencari pujian dan sanjungan manusia.
Apalagi jika sedekah itu disalurkan di jalan dakwah. Jalan yang ditempuh oleh para rasul ‘alaihmus sholatu was salam. Jalan tauhid. Tentu pahala yang akan diraih akan semakin besar dan berlipat ganda. Jika seorang saja yang mendapatkan hidayah melalui perantara kita jauh lebih berharga daripada onta-onta merah, maka bagaimana lagi jika yang mendapatkan hidayah itu puluhan, ratusan, atau bahkan jutaan manusia?! Bagaimana lagi jika harta itu diinfakkan untuk membangun masjid-masjid sunnah, mendirikan pesantren dan markaz dakwah; alangkah besar keutamaan dan pahala yang akan digapai oleh pelakunya, jika mereka ikhlas karena Allah ta’ala.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, apabila kita renungkan dengan baik, maka apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup ini? Apabila kita mencari kebahagiaan, ingatlah bahwa kebahagiaan itu ada di tangan Allah, dan tidak bisa diperoleh kecuali dengan tauhid, ketakwaan, dan amal salih. Mungkin jiwa kita merasa berat untuk berinfak dan beramal di jalan Allah, maka ketahuilah bahwa beratnya usaha kita akan dibalas oleh Allah dengan limpahan pahala, ampunan dan rahmat dari-Nya. Apalah artinya kesenangan dunia yang sementara ini jika kemudian di akhirat harus dijalani dengan siksaan dan penderitaan….
Allah berfirman (yang artinya), “Dan infakkanlah sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada kalian sebelum kematian datang kepada salah seorang dari kalian, lalu dia berkata ‘Wahai Rabbku, andaikata Engkau tunda kematianku barang sesaat saja, niscaya aku akan bersedekah dan akan menjadi orang yang salih’…” (Al-Munafiqun : 10)